Jangan Main-main dengan Kutang
Oleh
Yopi Setia Umbara
Pada Mimbar Freedom “Satu Nusa Satu Bangsat
Two £anguange$” yang digelar Freedom
Institute (Kamis, 24 Oktober2013), Remy Sylado tampil dengan balutan kemeja
safari putih, celana putih, dan sepatu berwarna putih. Ia menjinjing sebuah
koper yang juga berwarna putih. Koper tersebut ternyata berisi naskah ceramah.
![]() |
Remy Sylado ketika ceramah di Mimbar Freedom (foto: YSU) |
Sejurus kemudian Remy berdiri di mimbar
lantas menyampaikan ceramah kepada hadirin yang memenuhi ruang serbaguna
Freedom Institute di Wisma Proklamasi, Jalan Proklamasi No. 41, Jakarta. Naskah
ceramah yang ditulisnya dengan menggunakan mesin tik itu adalah mengenai bahasa
Indonesia dari jaman ke jaman.
Pada ceramahnya di Mimbar Freedom, Remy
menyoroti mengenai hilangnya rasa kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Terutama
ketika, “meng-Inggris-Inggriskan segala hal,” kata Remy. Fenomena itu pernah mendapat
perhatian pula dari Presiden Republik Indonesia pertama.
Pada 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno
pernah menyampaikan pidato mengenai perkara ini dengan tajuk ”Penemuan Kembali
Revolusi Kita.” Pada pidato itu muncul istilah ngak ngik ngok yang digunakan Soekarno terhadap hal-hal yang berbau
Inggris-Amerika, baik untuk musik maupun penggunaan bahasa. Lucunya, “pada saat
itu presiden (Soekarno, penulis) menegaskan pidatonya dengan menggunakan bahasa
Inggris The Revolution of Our Discovery,”
kata Remy.
Remy juga mengajak para hadirin yang menyimak
ceramahnya pada malam itu untuk mengingat kosa kata warisan Belanda. Menurutnya,
pada jaman Orde Lama banyak kosa kata peninggalan Belanda diganti dengan
istilah-istilah Inggris yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia. “Penyerapan
bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia itu tidak masalah, tapi sebaiknya dilafalkan
sesuai dengan cara orang Indonesia,” tegas Remy.
Banyak penggunaan istilah bahasa Inggris di
tempat umum yang menurut Remy tidak tepat. Salahsatu contoh yang sering kita
lihat adalah penggunaan tanda masuk dan keluar. Jika di negara aslinya digunakan
entrance untuk masuk dan exit untuk keluar, di Indonesia
kebanyakan menggunakan in dan out. Apalagi di Ibukota negeri ini, Remy
melihat begitu marak istilah Inggris, seperti busway, underpass, Jakarta Outer Ring Road (JORR), dan lain-lain.
Khusus untuk istilah JORR Remy berkelakar
tentang seorang nenek-nenek dari Jawa yang datang ke Jakarta. “Oleh nenek-nenek
tersebut, kepanjang JORR menjadi Jalan
Ora Rampung-rampung,” canda Remy. Bisa jadi, itu merupakan cara jeprut Remy mengkritik tentang
penggunaan istilah yang sok Inggris
di ruang publik negeri ini juga mengenai pembangunan jalan di jakarta yang
tidak selesai-selesai.
Remy juga tidak luput menceritakan kembali
mengenai istilah “Kutang” yang awalnya populer dengan sebutan “BH” (Breast Holder) kemudian menjadi “Bra”. Istilah
kutang itu sendiri berasal dari cerita mengenai pembuatan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan.
Adalah seorang Don Lopez biang keroknya. Don Lopez melihat seorang perempuan
bertelanjang dada, lantas ia menyuruh perempuan itu menutup dadanya dengan
selembar kain.
“Coutant,
coutant,” kata Don Lopez kepada perempuan tersebut. Maksudnya tutup benda
berharga milikmu (dada perempuan). Dari situlah kemudian istilah kutang muncul,
karena lidah orang Indonesia sulit melafalkan kata coutant yang berasal dari bahasa Perancis. “Jadi kutang itu benda
berharga, jangan main-masin sama kutang,” cerita Remy tentang kutang tersebut
disambut tawa para hadirin. Cerita ini dapat juga dibaca dalam novelnya yang
berjudul Novel Pangeran Dipenogoro, Menggagas
Ratu Adil (2007).
Tapi, meskipun begitu banyak kata serapan
bahasa asing dalam bahasa Indonesia serta para pemimpin yang kerap menyusupkan
istilah Inggris ketika tampil di televisi dan sebagainya, rupanya masih ada
yang bisa diteladani untuk penggunaan bahasa Indonesia. “Hanya Penyair yang
paling tertib berbahasa Indonesia. Penyair teladan bahasa Indonesia yang atas,”
ujar Remy yang pada tahun ini menerbitkan buku terbarunya Kamus Isme-Isme (2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar