09 Agustus 2013

Maroko

Maroko
Oleh Yopi Setia Umbara

Di Maroko Aki dan Nini dari pihak Bapak saya dimakamkan. Mereka adalah pasangan sehidup semati. Jasad mereka kini dimakamkan berdampingan. Bagi saya, makam mereka menunjukan lambang cinta yang luar biasa. Tak terpisahkan hingga akhir hayat.

Sebagai pasangan, seringkali saya menyaksikan momen-momen di mana mereka berbagi kasih dengan sederhana. Sekali waktu mereka bertengkar mulut karena jemuran padi yang dimakan ayam kampung. Namun, tidak lama mereka rukun kembali. Mereka memberi gambaran kepada saya tentang mencintai tidak selamanya tentang hal manis, tapi ada saatnya saling kritik.
Langit pagi Maroko (9/8/2013)
Maroko terletak di Desa Mekarjaya, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat. Atau, kira-kira 25 KM dari Titik 0 Bandung.

Nama kampung ini memang cukup unik. Malah, namanya sama persis dengan salahsatu negara di Afrika Utara. Entah sejak kapan kampung ini disebut Maroko. Saya belum menemukan kisah yang terang mengenai penamaan kampung ini.

Selain dikenal dengan nama Maroko, kampung halaman saya juga kerap disebut Pasar Aci. Mengenai sebutan Pasar Aci, barangkali ada hubungannya dengan pasar di ujung kampung.

Suasana pasar (9/8/2013).
Pasar itu sendiri sejak bertahun-tahun telah ada di ujung kampung. Sejak bertahun-tahun pula pasar di Maroko yang berlangsung dua kali seminggu. Pada hari Selasa dan Jumat saja. Meskipun begitu, seperti umumnya pasar ini juga menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat, mulai dari sembako hingga pakaian jadi. 

Selain menyediakan kebutuhan untuk warga kampung Maroko dan kampung terdekat lainnya di Desa Mekarjaya, pasar ini juga memenuhi kebutuhan masyarakat di seberang kampung yang terpisahkan oleh sungai Citarum.
Kebetulan pasar yang terletak di ujung kampung tersebut juga berdekatan dengan dermaga perahu.



Perahu bersandar di dermaga (9/8/2013).
Citarum mengalir di bagian utara kampung Maroko sekaligus menjadi batas wilayah Kecamatan Cihampelas dengan kecamatan lainnya. Di sepanjang tepi citarum terdapat banyak pohon kersen. Tepi sungai tersebut merupakan tempat paling pas untuk dikunjungi sore hari. Di bawah teduh pohon kersen, menikmati tenang alir Citarum dan sore pasti sangat romantis.

Namun, ada sedikit kenangan buruk tentang sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat tersebut. Bagi sebagian warga kampung Maroko, mereka kehilangan tanah karena terendam Citarum pada saat proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Saguling pada tahun 1980-an, walaupun memang pihak PLN memberikan ganti rugi.

Sementara bagi saya sendiri, gara-gara Citarum saya tidak pandai berenang. Sewaktu kecil ketika anak-anak lain asyik bermain di Citarum saya pasti dimarahi kalau ketahuan ikut guyang di sungai. Walhasil, sampai sekarang saya tidak lancar-lancar berenang. Bisa jadi cuma alibi saya saja yang tidak cakap berenang.

Dahulu sebelum ramai ojek, alat transportasi masal daratan di Maroko adalah keretek. Namun, sejak ojek mulai ramai, para pemilik keretek semakin berkurang di Maroko. Apalagi, sekarang para pemilik keretek sering kesulitan mencari pakan kuda. Rata-rata kuda yang digunakan untuk keretek di Maroko adalah kuda peranakan Sumbawa.
Keretek ngetem di pasar (9/8/2013).
Kini, Maroko semakin bergeliat. Bangunan-bangunan rumah dengan dinding tembok mulai marak menggantikan rumah panggung. Hampir setiap rumah memiliki kendaraan, kalau tidak roda dua, ya roda empat. Dan yang memiliki kendaraan roda empat biasanya memiliki kendaraan roda dua. 

Sayangnya, kepimilikan kendaraan bermotor sebagian besar warga di kampung Maroko tidak diiringi dengan kondisi jalan. Bisa dikatakan jalan di Maroko sangat buruk. Bertahun-tahun tidak ada perbaikan. Memang, bukan tidak pernah. Akan tetapi, hasil perbaikan jalan tidak pernah bertahan lama. 

Kondisi jalan yang buruk di Maroko tersebut sangat kontras dengan jalan di kampung Cihamirung yang kebetulan merupakan tempat kantor kepala desa. Barangkali inilah kesamaan Maroko di sini dengan Maroko negeri maghribi di jazirah Afrika itu. Kalau di sana jalanan berdebu lantaran sebagian wilayahnya gurun pasir. Nah, kalau di sini karena jalan yang teramat buruk.

Padahal jika aksesnya terawat, bukan tidak mungkin laju perekonomian di Maroko akan semakin meningkat. Banyak sekali potensi daerah Maroko yang dapat berkembang. Sebab secara individu atau berkelompok masyarakat di Maroko memiliki usaha karamba ikan, peternakan ayam, sawah, kebun, atau bahkan mengembangkan potensi wisata sungai Citarum selain sekadar dimanfaatkan untuk transportasi.

Begitulah, sekilas gambaran kampung halaman saya. Seperti juga Aki dan Nini saya yang saling mencintai. Apa yang saya tulis ini bukan hanya yang menarik tentang Maroko, tetapi juga hal yang mesti segera dibenahi.

Bandung, Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar