Cerpen Yopi Setia Umbara
Di Sebuah Persimpangan

Malam itu aku baru
pulang dari luar kota. Ya, aku menyebutnya luar kota. Walau kebanyakan orang
menyebutnya ibu kota. Di sana aku hanya menjadi pekerja. Aku tak menganggap
kota itu sebagai tempat tinggalku. Lebih dalam lagi, aku tak menganggapnya
sebagai kota milikku.
Cintaku terlalu
tertambat di sini. Di kota yang mulai basah oleh hujan ini.
“Kalem ya, kang. Ngetem dulu sebentar.” Kata supir angkot kepadaku. Setelah hampir
lima menit aku berada di dalamnya.
Di dalam angkot
memang belum ada penumpang lain. Baru aku seorang. Namun, kekosongan itu tak
sedikit pun membuatku khawatir. Tak ada ketakutan sedikit pun yang membayangi.
Aku merasa tenang-tenang saja. Bahkan, aku tak dihinggapi ketergesaan untuk
segera sampai ke rumah.
Perasaan yang sama
sekali berbeda dengan yang kurasakan selama berada di kota tempatku bekerja.
Setiap kali berada di tempat-tempat umum, aku selalu ingin buru-buru kembali ke
kantor. Kembali ke dalam kesibukanku sendiri.
Kekhawatiran yang
mekar sebagai kecurigaan selalu menghampiri. Setiap mata yang memandang
seolah-olah mengancamku. Membiakan paranoid akut.
Di sini, di kota
yang kini deras dilanda hujan, segala kecurigaan juga ketakutan hilang begitu
saja. Aku sudah merasakan rumah begitu menginjakan kaki di kota ini. Semua
orang seperti sahabat, malah seperti saudara sendiri.
“Waduh, hujannya gede. Dari mana mau ada penumpang kalau
kayak gini.” Keluh supir angkot.
Keluhan sopir
angkot tersebut seakan-akan meminta pengertian kepadaku agar membiarkannya ngetem lebih lama. Aku tak
mengomentarinya. Lagipula tanpa diminta pun aku sudah mengerti.
Hari-hari ini
penumpang angkot memang sangat berkurang. Sejak begitu mudahnya orang untuk
mendapatkan kredit kendaraan bermotor. Kebanyakan orang lebih memilih naik kendaraan
pribadi daripada naik angkot. Apalagi malam-malam begini, penumpang tentu lebih
berkurang lagi.
Sopir angkot itu
kemudian memutar lagu mengisi kesunyian angkot. Mungkin juga untuk sedikit
menghiburku. Aku tersenyum kepada diri sendiri.
Yesterday, sebuah
lagu dari The Beatles yang ia putarkan.
“Keren.” Pikirku.
Dari lagu yang
diputarnya itu, dia seolah tahu bagaimana cara membuat orang merasa nyaman.
Irama lembut-lambat lagu dan hujan deras menjadi komposisi tersendiri dalam
benakku. Atau, lebih tepatnya mengaduk-ngaduk ingatanku kembali ke dalam
beragam kenangan.
Hingga seorang
perempuan dengan terburu-terburu memasuki angkot. Ia sanggup mengalihkan
perhatianku dari segala kenangan. Ia duduk di pojok angkot, tepat di depanku. Seketika
ia seperti menyihirku.
Rambutnya kuyup. Diam-diam
aku memerhatikan setiap geraknya. Ia mengelap-elap
basah hujan yang menempel pada tangannya dengan tissue. Ia juga melepaskan
basah dengan tissue pada betisnya.
Rambutnya sebahu.
Ia mengenakan kemeja berwarna gading yang dipadukannya dengan jaket jeans abu
dan rok pendek berwarna hijau lumut. Sementara kakinya ia tutupi dengan flat shoes alias sepatu tanpa hak tinggi. Ia membawa tas jinjing kulit berwarna
cokelat tua. Tahi lalat kecil di pipi bagian kanan membuatnya terlihat begitu
manis.
Melihat
penampilannya, ia seperti pulang kerja. Tempat kerjanya mungkin bank atau semacam
pekerjaan yang behubungan dengan meja, layar komputer, data-data, dll. Ya,
bagiku kadang menarik menerka-nerka profesi seseorang dengan melihat
pencitraannya.
Barangkali, ia juga
sadar aku memerhatikanya. Namun, tak sedikit pun ia nampak risi dengan apa yang
aku perbuat. Tak seperti di kota tempatku bekerja. Mereka yang aku perhatikan,
selalu tampak begitu waspada. Dalam benak mereka, mungkin aku hendak merampok
bahkan memerkosanya.
Tidak dengan
perempuan di hadapanku ini. Ia tetap tenang dan anggun. Persis kotaku ini.
Ia berusaha menarik
kaca jendela angkot yang sedikit terbuka, karena air hujan bercipratan masuk
dari celah itu. Lantaran, ia tampak kesusahan menutup jendela angkot itu, aku
lantas membantunya. Saat hendak menarik jendela, tangannya tersentuh olehku. Ia
pun menoleh padaku.
Spontan aku meminta
maaf padanya, “Maaf, mbak.”
“Oh iya. Gak
apa-apa.” Jawabnya ramah.
Keramahannya
membuatku ingin berbincang lebih banyak dengannya. Karena sungguh aku terpesona
sedari awal ia duduk di depanku dalam angkot ini.
Lalu aku teringat
film Before Sunrise dan Before Sunset. Film tentang pertemuan dua orang asing
dalam kereta pada sebuah perjalanan mereka di Eropa. Mereka kemudian memutuskan
untuk bertualang bersama.
“Apakah kejadian
ini akan berlanjut seperti alur film tersebut?” Aku bertanya-tanya dalam diri
sendiri.
Lagu yang diputar
oleh sopir angkot rupanya bersumber dari saluran radio dengan daftar lagu
lawas. Kali ini yang terdengar adalah sebuah nomor dari Queen. Too Much Love
will Kill You.
Sementara itu angkot
belum juga bergerak. Sopir angkot masih mencoba menambah penumpang.
Berkali-kali terdengar dia menawarkan jurusan yang dilalui dan dituju angkot
ini kepada orang-orang yang bergegas menghindari hujan di sekitar persimpangan.
Bandung, Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar