20 Mei 2013

Di Sebuah Persimpangan


Cerpen Yopi Setia Umbara
Di Sebuah Persimpangan

Di persimpangan rintik-rintik hujan mulai turun ketika aku turun dari bus antar kota. Buru-buru aku menuju angkot yang sedang ngetem. Aku mesti segera berteduh walau mesti menunggu dalam kekosongan sebuah angkot. Lantaran hujan tampaknya akan segera deras.

Malam itu aku baru pulang dari luar kota. Ya, aku menyebutnya luar kota. Walau kebanyakan orang menyebutnya ibu kota. Di sana aku hanya menjadi pekerja. Aku tak menganggap kota itu sebagai tempat tinggalku. Lebih dalam lagi, aku tak menganggapnya sebagai kota milikku.

Cintaku terlalu tertambat di sini. Di kota yang mulai basah oleh hujan ini.

Kalem ya, kang. Ngetem dulu sebentar.” Kata supir angkot kepadaku. Setelah hampir lima menit aku berada di dalamnya.

Di dalam angkot memang belum ada penumpang lain. Baru aku seorang. Namun, kekosongan itu tak sedikit pun membuatku khawatir. Tak ada ketakutan sedikit pun yang membayangi. Aku merasa tenang-tenang saja. Bahkan, aku tak dihinggapi ketergesaan untuk segera sampai ke rumah.

Perasaan yang sama sekali berbeda dengan yang kurasakan selama berada di kota tempatku bekerja. Setiap kali berada di tempat-tempat umum, aku selalu ingin buru-buru kembali ke kantor. Kembali ke dalam kesibukanku sendiri.

Kekhawatiran yang mekar sebagai kecurigaan selalu menghampiri. Setiap mata yang memandang seolah-olah mengancamku. Membiakan paranoid akut.

Di sini, di kota yang kini deras dilanda hujan, segala kecurigaan juga ketakutan hilang begitu saja. Aku sudah merasakan rumah begitu menginjakan kaki di kota ini. Semua orang seperti sahabat, malah seperti saudara sendiri.

“Waduh, hujannya gede. Dari mana mau ada penumpang kalau kayak gini.” Keluh supir angkot.

Keluhan sopir angkot tersebut seakan-akan meminta pengertian kepadaku agar membiarkannya ngetem lebih lama. Aku tak mengomentarinya. Lagipula tanpa diminta pun aku sudah mengerti.

Hari-hari ini penumpang angkot memang sangat berkurang. Sejak begitu mudahnya orang untuk mendapatkan kredit kendaraan bermotor. Kebanyakan orang lebih memilih naik kendaraan pribadi daripada naik angkot. Apalagi malam-malam begini, penumpang tentu lebih berkurang lagi.

Sopir angkot itu kemudian memutar lagu mengisi kesunyian angkot. Mungkin juga untuk sedikit menghiburku. Aku tersenyum kepada diri sendiri.

Yesterday, sebuah lagu dari The Beatles yang ia putarkan.

“Keren.” Pikirku.

Dari lagu yang diputarnya itu, dia seolah tahu bagaimana cara membuat orang merasa nyaman. Irama lembut-lambat lagu dan hujan deras menjadi komposisi tersendiri dalam benakku. Atau, lebih tepatnya mengaduk-ngaduk ingatanku kembali ke dalam beragam kenangan.

Hingga seorang perempuan dengan terburu-terburu memasuki angkot. Ia sanggup mengalihkan perhatianku dari segala kenangan. Ia duduk di pojok angkot, tepat di depanku. Seketika ia seperti menyihirku.

Rambutnya kuyup. Diam-diam aku memerhatikan setiap geraknya. Ia mengelap-elap basah hujan yang menempel pada tangannya dengan tissue. Ia juga melepaskan basah dengan tissue pada betisnya.

Rambutnya sebahu. Ia mengenakan kemeja berwarna gading yang dipadukannya dengan jaket jeans abu dan rok pendek berwarna hijau lumut. Sementara kakinya ia tutupi dengan flat shoes alias sepatu tanpa hak tinggi. Ia membawa tas jinjing kulit berwarna cokelat tua. Tahi lalat kecil di pipi bagian kanan membuatnya terlihat begitu manis.

Melihat penampilannya, ia seperti pulang kerja. Tempat kerjanya mungkin bank atau semacam pekerjaan yang behubungan dengan meja, layar komputer, data-data, dll. Ya, bagiku kadang menarik menerka-nerka profesi seseorang dengan melihat pencitraannya.

Barangkali, ia juga sadar aku memerhatikanya. Namun, tak sedikit pun ia nampak risi dengan apa yang aku perbuat. Tak seperti di kota tempatku bekerja. Mereka yang aku perhatikan, selalu tampak begitu waspada. Dalam benak mereka, mungkin aku hendak merampok bahkan memerkosanya.

Tidak dengan perempuan di hadapanku ini. Ia tetap tenang dan anggun. Persis kotaku ini.

Ia berusaha menarik kaca jendela angkot yang sedikit terbuka, karena air hujan bercipratan masuk dari celah itu. Lantaran, ia tampak kesusahan menutup jendela angkot itu, aku lantas membantunya. Saat hendak menarik jendela, tangannya tersentuh olehku. Ia pun menoleh padaku.

Spontan aku meminta maaf padanya, “Maaf, mbak.”

“Oh iya. Gak apa-apa.” Jawabnya ramah.

Keramahannya membuatku ingin berbincang lebih banyak dengannya. Karena sungguh aku terpesona sedari awal ia duduk di depanku dalam angkot ini.

Lalu aku teringat film Before Sunrise dan Before Sunset. Film tentang pertemuan dua orang asing dalam kereta pada sebuah perjalanan mereka di Eropa. Mereka kemudian memutuskan untuk bertualang bersama.

“Apakah kejadian ini akan berlanjut seperti alur film tersebut?” Aku bertanya-tanya dalam diri sendiri.

Lagu yang diputar oleh sopir angkot rupanya bersumber dari saluran radio dengan daftar lagu lawas. Kali ini yang terdengar adalah sebuah nomor dari Queen. Too Much Love will Kill You.

Sementara itu angkot belum juga bergerak. Sopir angkot masih mencoba menambah penumpang. Berkali-kali terdengar dia menawarkan jurusan yang dilalui dan dituju angkot ini kepada orang-orang yang bergegas menghindari hujan di sekitar persimpangan.

Bandung, Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar