09 Mei 2013

Cempaka Putih Suatu Sore


Cempaka Putih Suatu Sore
Oleh Yopi Setia Umbara

Rabu sore, 8 Mei 2013. Saya hendak pulang ke Bandung. Rindu kekasih, rindu teman-teman, rindu sepeda, rindu sejuknya bandung, dan tentu saja rindu menulis dalam ketenangan. Bekerja di Jakarta pada sebuah majalah yang tak jelas membuat saya tak terlalu betah berlama-lama di Jakarta.

Yogi, Musisi Jalanan
Setiap akhir pekan, sejak satu bulan terakhir tempat pemberhentian bus di Jalan Cempaka Putih menjadi tempat untuk menanti bus menuju Bandung. Hari itu masih di pertengahan minggu, namun karena keesokan harinya (9 Mei 2013) tanggal merah, maka saya memutuskan pulang. 

Pada sore itu saya memilih untuk menunggu bus di salahsatu kios kaki lima. Di sepanjang trotoar Jalan Cempaka Putih tersebut memang banyak kios kaki lima. Saya memesan kopi. Lalu memesan sebatang rokok. Saya sulut dan saya hisap rokok tersebut. Mencoba menikmati suasana pinggiran jalan sore itu. 


Suasana jalan cukup macet, lantaran dekat pintu tol dan tentu saja disebabkan bus-bus yang berhenti ngetem di sana. 

Lamat-lamat saya dengar lagu Iwan Fals. Rokok saya habis juga seiring lagu Iwan Fals berjudul "Barang Antik" berganti dengan lagu ska yang dinyanyian oleh Monkey Boots. Tapi, kopi saya masih tersisa. Saya tinggalkan saja. Saya pindah posisi duduk mendekati seorang musisi jalanan. Dia tampaknya sering mangkal di kios itu.

"Ada kabar Iwan Fals meninggal ya, bang?" Saya membuka obrolan mencoba mengakrabinya. Kebetulan sehari sebelumnya ramai isu meninggalnya legenda musisi balada negeri ini di media sosial. 

Beruntung gayung bersambut. Walau reaksinya di luar dugaan saya.

"Ya, kalau ada berita seperti itu mungkin saja kan? Namanya meninggal siapa yang tahu." Katanya.

"Ya, seperti Uje atau Jo siapa itu (maksudnya Ricky Jo, pembawa acara olahraga). Padahal dia kan suka olahraga, tapi ya namanya usia ya. Mungkin kabar seperti itu kadang bisa saja bener." Sambungnya.

Akan tetapi seperti yang diberitakan di media, bahwa Iwan Fals baik-baik saja. Kabar meninggalnya sang legenda memang hanya semacam hoax.

Mengingat hubungan Oi cukup dekat dengan musisi jalanan, saya mencoba lagi menyambung obrolan dengannya, "Abang ikut di Oi gak, bang?"

“Enggak." Singkat saja jawabnya.

Saya kira dia tidak suka dengan pertanyaan saya. “Wah gawat ni salah topik.” Keluh saya dalam hati.

“Tapi, bukan berarti saya tidak suka. Buat saya semua musisi semua musik itu baik sebenarnya. Saya suka semua musik. Rock, dangdut juga ada yang enak. Kebetulan saja saya gak masuk organisasi-organisasi begitu.” Dia menjelaskan jawabannya.

“Iya-iya.” Kata saya.

“Sebenernya musik daerah itu yang bagus. Musik daerah itu mahal harganya. Banyak orang luar mempelajarinya.” Dia seperti mengalihkan pembicaraan.

“Musik daerah itu berharga.” Dia menegaskan kembali.

Kata-kata terakhirnya itulah yang kemudian membuat saya terbersit untuk menuliskan obrolan ringan di Jalan Cempaka Putih itu. Sebab, pernyataannya tentang musik daerah yang sangat berharga membuat saya tergugah. Betapa seorang musisi jalanan yang karib dengan suasana keras di jalan, di dalam benaknya masih tersimpan apresiasinya terhadap musik daerah. 

Walaupun dia tidak secara spesifik menyebutkan salahsatu musik daerah yang disukainya. Namun, pandangan umumnya cukup membuat saya merasa perlu menuliskan ini. Bahkan, saya ingin buru-buru menuliskan obrolan tersebut.

Bus yang saya tunggu merapat. Sebelum saya akhiri obrolan, saya meminta kesediaannya agar kata-katanya saya kutip dalam sebuah tulisan. Tidak lupa saya memotret dan menulis namanya. 

Terima kasih Abang Yogi atas obrolan ringan di Jalan Cempaka Putih suatu sore.

Bandung, 9 Mei 2013

2 komentar:

  1. "Bekerja di Jakarta pada sebuah majalah yang tak jelas membuat saya tak terlalu betah berlama-lama di Jakarta."
    Hahahaha...

    BalasHapus