08 Mei 2013

Esai Asoy


Esai Asoy
Oleh Yopi Setia Umbara

“Kalau obrolan adalah bentuk penuturan lisan, 
maka esai adalah perwujudannya dalam bentuk tulisan”
(Ignas Kleden)

Dalam esai berjudul “Esai: Godaan Subyektivitas” (Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, 2004), dengan santai dan penuh keriangan Ignas Kleden menuturkan pendapat subyektif dirinya mengenai esai. Tuturan Ignas tentang esai yang saya jadikan kutipan di atas, saya kira tetap relevan untuk disarikan kembali di sini. 


Merujuk pada sejarahnya, bentuk penulisan esai ditemukan dan diperkenalkan pada abad 16 di Perancis oleh Michel Eyquem de Montaigne. Ia adalah seorang sastrawan dan filsuf yang lahir dan tumbuh pada abad pertengahan di Perancis.

Montaigne sendiri berasal dari kalangan terpelajar pada jaman itu, masa ketika renaisans membuka pintu untuk pengetahuan dan pemikiran bebas, sekaligus juga merangsang rasa ingin tahu orang banyak tentang berbagai perkara, yang pada waktu sebelumnya tabu untuk diselidiki. Orang-orang berlomba dalam studi dan pencarian untuk menghidupkan kembali warisan seni dan sastra Yunani serta Romawi. Pada Umur 6 tahun, konon Montaigne telah sanggup bercakap-cakap dalam bahasa Latin seperti bahasa ibunya sendiri. Istilah esai itu sendiri berasal dari dua jilid buku yang ditulisnya dari tahun 1571 dan terbit pada tahun 1580, berjudul Essais (yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Essays). Karena caranya menuliskan pemikiran dan perasaannya dianggap unik, kemudian berkembang menjadi suatu genre atau genus literarium sendiri.

Esai lahir karena keinginan berkata-kata, semacam obrolan dalam bentuk tulisan. Sebuah obrolan menjadi menarik bukan sekadar lantaran apa yang dibicarakan, tetapi karena penuturnya tahu bagaimana caranya menarik perhatian pendengar. Ia tahu bagaimana caranya memancing rasa ingin tahu dan menghindarkan pendengar dari kebosanan. Selayaknya obrolan, maka dalam suatu situasi ia akan memancing argumentasi juga pertanyaan tentang suatu topik. 

Sebuah esai menjadi prosa yang memikat, karena ada daya tarik yang dibangkitkan oleh bayang-bayang penulisnya. Pertama, dari pemilihan topik yang dituturkan. Kecermatan dan antusiasme seorang esais mengenai suatu topik, menentukan memikat tidaknya esai yang ia sajikan. Jika ia salah pilih topik, seperti mengulang suatu topik yang pernah dibicarakan penulis lain, maka ia tidak akan sedikit pun mendapatkan respon dari pembacanya. Kedua, adalah cara dia menuturkan. Hal kedua ini sangat penting bagi seorang esais, sekali pun ia membicarakan kembali suatu topik yang pernah dibahas esais lain. Namun, jika ia memiliki kemampuan retoris yang brilian, maka ia akan tetap mendapat tempat di hadapan pembaca. Penemuan terhadap ungkapan-ungkapan baru juga frasa-frasa baru dalam menyajikan esai sangat memengaruhi kehangatan obrolan dalam tulisan yang ditawarkan oleh seorang esais.

Esai mempunyai posisi yang unik, karena dia membuka dirinya terhadap obyektivitas maupun terhadap subyektivitas. Sebuah obyek yang dihadapi seorang esais menjadi menarik bukan karena keadaannya sebagaimana adanya secara obyektif, tetapi ia dibuat memesona oleh tingkah bahasa seorang esais yang spontan dan penuh ekspresi. Dari spontanitas dan ekspresivitas interaksi seorang esais terhadap obyeknya, maka sebuah esai hadir dengan suka-duka pengalaman keduanya.

Menulis sebuah esai tentu bukan saja berdasarkan kepada spontanitas semata, sebab suatu spontanitas bergantung kepada sejauh mana kemampuan dan wawasan seorang esais. Bagi seorang esais, merencanakan sebuah esai bukanlah sesuatu yang tabu. Berbeda dengan menulis puisi, selain perencanaan, kematangan secara bahasa dan pengalaman pun sangat menentukan. Walau bahasa esai tidaklah sebebas puisi, namun lebih longgar dari ilmu pengetahuan.

Misalnya, jika kita membaca esai Goenawan Mohamad (selanjutnya saya sebut GM) “Mengingat Tagore” (Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang, 2005). Hal menarik dalam tulisan tersebut bukan tentang pengalaman GM ketika berada di Calcutta, India, dalam sebuah forum yang dihadirinya. Melainkan, bagaimana sebuah kota bernama Calcutta kemudian mengingatkan dan menarik ia kepada karya dan pikiran-pikiran salah seorang sastrawan terkemuka kelahiran Calcutta yaitu, Rabindranath Tagore.

Seperti impresinya ketika ia merenungkan puisi-puisi Tagore yang dituliskan di Gedung Vhisma-Bharati, di mana pada saat itu GM merasa sedang berteduh di bawah sebuah pohon. Keterpukauannya pada puisi-puisi yang dihadapinya menyajikan pengalaman lain bagi dirinya. Bukan sekadar pengalaman fisik semata, tapi ia merasakan pengalaman spiritual: 

Di dinding-dindingnya orang memasang gambar-gambar bersejarah dalam hidup Tagore, lukisan-lukisannya, dan baris-baris sajaknya. Dalam puisi itulah saya kira keteduhan ruang gedung itu bermula…

Betapa benarnya: puisinya meneduhkan persaan kita dari apa yang kasar, apa yang serakah dan segala apa yang mengancam kegembiraan hidup manusia—mungkin seperti halnya ketenangan gedung ini meneduhkan saya dari keriuhan kota.

Ia mampu mengkontraskan suasana kota Calcutta yang mulai kosmopolitan dengan kesunyian di dalam gedung tersebut, dan membayangkan masa lalu ketika Tagore menulis Gitanyali di kota tersebut. Pengalaman semacam itu tentu hadir akibat dari pengetahuan GM mengenai puisi-puisi Tagore juga sensitivitasnya sebagai seorang penulis.

Ketika kembali ke jalanan, melewati tokok-toko dan restoran, saya bertanya: “Seandainya Tagore hidup di Calcutta hari ini, bisakah ia menuliskan sajak-sajaknya seperti Gitanyali?”

Pada esainya itu, GM menyajikan pengalamannya dengan sangat ekspresif. Gaya bahasa yang ia pilih menunjukan hal tersebut. Bahkan, tidak jarang pada bait-bait esainya itu kita seperti sedang membaca sebuah prosa lirik. Di mana penggambaran keadaan dan pernyataan penghayatannya melalui serangkaian gaya bahasa yang begitu lugas lantas tersusun menjadi sebuah paragraf naratif yang asyik untuk diikuti. 

Saya tidak punya tempo. Saya senantiasa harus segera meninggalkan sebuah tempat berteduh, yang sebentar sempat saya singgahi. Seakan-akan Tagore berkeluh untuk saya: “Jelas bahwa abad modern berada di atas taufan keserba cepatan”. Itu adalah kalimatnya dalam sebuah ceramah di Canada, 6 april 1929, The Philosophy of Leisure.

Efek yang muncul dari membaca esai GM tersebut bukan sekadar terletak pada apa yang sedang disampaikannya. Lebih dari itu, adalah daya pukau yang ditimbulkan dari cara ia menyampaikan obrolannya tentang puisi, Tagore, dan Calcutta. Kemampuan menuturkan dan daya literasi GM yang kuat, mampu membuat pembaca tercekam dengan konteks realitas yang ia benturkan dengan teks yang pernah ditulis oleh Tagore. Seakan-akan ia mengolah obyek yang ia hadapi dengan antusiasme yang begitu tinggi sehingga tersaji dengan sangat retoris.

Esai, dengan demikian, bukan hanya tentang obyek yang menjadi bahan pembicaraan semata. Tetapi esai sangat berhubungan juga dengan pengalaman dan wawasan seorang esais. Oleh karena itu, subyektivitas seorang esais sangat menentukan terhadap apa yang kemudian ia jadikan wacana. Sebab, esai juga berperan sebagai penjelmaan penulis dalam gagasannya, sekaligus menjadi pemikiran yang seakan-akan dipersonifikasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar