01 Mei 2013

Senja Di Jakarta: Membaca Nurani Jakarta

Yopi Setia Umbara
Senja Di Jakarta: Membaca Nurani Jakarta

Membaca Senja Di Jakarta adalah membaca nurani Jakarta. Membaca novel karya Mochtar Lubis di antara keramaian berita, mulai dari kasus korupsi yang melibatkan mantan bendahara partai demokrat hingga kasus pembunuhan petani di Mesuji, Lampung, tentu membuat saya terseret agak menjauh dari realitas yang heboh jadi pembicaraan. Senja Di Jakarta yang saya baca kembali merupakan cetakan kedua yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2009.

Tokoh-tokoh yang hadir dalam novel dengan sembilan sub judul yang merupakan nama bulan, mulai dari Mei hingga Januari, menarik perhatian saya. Setiap tokoh yang diceritakan oleh orang ketiga tersebut seolah-olah diciptakan oleh Mochtar Lubis sebagai representasi dari lingkungan dan status sosialnya masing-masing. Salah satu tokoh yang paling menarik perhatian saya adalah tokoh Saimun.


Saimun merupakan tokoh yang dikisahkan di pembuka novel ini. Seorang pekerja serabutan di tempat pembuangan sampah. Saimun sampai di tempat tersebut setelah kabur dari kampungnya yang mengalami kekacauan akibat pemberontak. Hidup di Jakarta dan tanpa pendidikan membuatnya terpaksa bekerja serabutan di tempat pembuangan sampah. Saimun punya keinginan merubah nasibnya, akan tetapi senantiasa merasa rendah diri dan inferior sebagai orang yang berasal dari kampung dan tanpa kemampuan khusus.

Hanya cinta Saimun pada Neneng, gadis desa yang terpaksa menjadi pelacur di Jakarta, yang membuatnya punya keberanian. Seperti ia tunjukan di kantor polisi, ketika Neneng tertangkap dalam razia wanita malam yang dilakukan polisi. Ia berani mengambil resiko mengakui Neneng sebagai bininya demi membebaskan Neneng dari kantor polisi.

Aksi Saimun di kantor polisi tersebut, merupakan satu-satunya aksi paling heroik yang dilakukan Saimun dalam novel ini. Selebihnya ia hidup dalam kesusahan yang tak berkesudahan. Sebagai pekerja serabutan di tempat pembuangan sampah, penghasilan Saimun sangat jauh dari cukup. Setiap kali mendapat upah, saat itu juga upahnya habis digunakan untuk menutup utang. Begitu setiap waktu berulang-ulang. Kebahagian ia hanyalah ketika bisa menikmati sebatang rokok kretek dan membiarkan lamunannya melayang ke kampung halaman yang sangat dirindukannya.

Walau demikian, Saimun selalu mengupayakan hal-hal sederhana untuk merubah nasibnya. Ia belajar menyetir kepada supir truk sampah dengan konsekuensi mau mencuci truk itu setiap hari. Lantas ia pun punya cita-cita paling tinggi, yaitu menjadi sopir oplet. Namun untuk menjadi sopir oplet butuh rebewes semacam Surat Ijin Mengendarai (SIM). Demi rebewes itu pula, ia belajar baca tulis.

Sampai pada suatu waktu, Saimun pergi ke kantor polisi untuk mengurus rebewes. Namun, di tempat itu ia terguncang, rasa rendah dirinya kembali menguasai dirinya. Ia merasa tidak pantas mendapat rebewes, ramainya orang-orang yang sama-sama mengantri membuatnya malu sendiri. Apalagi orang-orang tersebut berpakaian rapi, sedangkan ia hanya menggunakan celana pendek, dengan kemeja yang bolong punggungnya, dan tanpa alas kaki. Ia pun keluar meninggalkan kantor polisi dengan perasaan tak tentu. Barangkali, mimpinya jadi sopir oplet tak akan tercapai.

Selain Saimun, tokoh-tokoh dalam Senja Di Jakarta tampak senantiasa melakukan sesuatu yang tak dikehendaki hati nuraninya. Misalkan Suryono, lantaran antipati pada lingkungan kerjanya di Kementrian Luar Negeri tak memuaskannya, dan jauh berbeda dari gaya hidup New York di mana ia pernah tinggal, dia meninggalkan tempat kerjanya lalu berkongsi dengan ayahnya Raden Kaslan mendirikan perusahaan ekspor impor fiktif.

Pendirian perusahaan ekspor impor fiktif itu sendiri dilatari oleh kebutuhan partai yang melibatkan Raden Kaslan, seorang pengusaha yang mencintai uang. Pada saat itu partai sedang butuh banyak uang untuk pemenangan pemilu berikutnya. Uang-uang untuk membangun perusahaan fiktif itu sendiri berasal dari pinjaman kepada negara. Sementara rakyat pada saat itu sedang hidup kesusahan.

Ada lagi tokoh bernama Sugeng, pegawai negeri sipil dengan gaji pas-pasan, lantaran terdesak istrinya yang menginginkan punya rumah, ia terpaksa melakukan korupsi karena memiliki kesempatan. Dia juga tiba-tiba terlibat dengan Suryono dalam pendirian perusahaan fiktif. Sebelum akhirnya menyadari kesalahan langkah yang dia pilih.

Korupsi, konspirasi, dan ketidakpedulian pada hati nurani adalah narasi Senja Di Jakarta yang masih cukup kontekstual dengan kondisi negeri hari ini. Novel ini sendiri pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta (1963).

Bandung, Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar