01 Mei 2013

Sebutir Debu, Tikus, dan Lepra

Yopi Setia Umbara
Sebutir Debu, Tikus, dan Lepra

Menjadi manusia yang teguh dengan pilihan hidup, ternyata bukan perkara mudah. Apalagi jika hidup yang dipilih itu cukup beresiko. Sesuatu yang minoritas-marjinal, meski demi memperjuangkan keadilan, rupanya tak berarti apa-apa di antara paham mayoritas dan tekanan hegemoni kekuasaan. Ujung-ujungnya, konsistensi manusia semacam itu, martabatnya tak lebih berharga dari sebutir debu, tak lebih baik dari tikus, bahkan dilabeli pesakitan sampai akhir hayat. Begitulah Martin Aleida menggambarkan tokoh-tokoh dalam antologi cerpennya Mati Baik-baik, Kawan (Akar Indonesia, Maret 2009).

Tragedi Peristiwa 65, bagi Martin Aleida seperti mata air yang tak pernah berhenti menjadi sumber inspirasi dalam proses penciptaan karyanya. Di mana pembunuhan masal, penculikan, penahanan, dan pelenyapan manusia menjadi cerita paling kelam dalam catatan sejarah negeri ini. Bahkan sampai hari ini, saking kelamnya, sejarah seusungguhnya tak pernah terungkap secara gamblang.


Diam-diam, rakyat seolah-olah dipaksa untuk lekas-lekas melupakan peristiwa, yang sesungguhnya teramat penting diketahui kebenarannya. Apalagi, jika mengingat jutaan korban yang mati dan hilang entah di mana rimbanya. Belum lagi dengan keluarga mereka yang ditinggalkan, lantas terpaksa menanggung beban lebih menyiksa, sebab menjadi anggota masyarakat yang seperti mengidap lepra seumur hidupnya. 

Namun, dengan cerpen-cerpennya dalam antologi ini, Martin berusaha membuka sebuah ruang bagi pembaca untuk memasuki sebagian masa paling buruk dalam sejarah peradaban manusia sekali pun. Walau sebagai karya fiksi, cerpen-cerpen Martin bukanlah sekadar karangan yang tercipta dari lamunan. Karena, Peristiwa 65 yang menjadi tema besar dalam karyanya ini, dapat kita telusuri latar belakang penciptaannya.

Mengenai pertanyaan-pertanyaan tentang Peristiwa 65 tidak akan saya bahas lebih panjang lebar di tulisan ini. Sebab, sejarawan tentu dapat lebih baik menyajikannya. Atau, Pembaca yang budiman dapat membaca kata penutup “Martin Aleida dan Sejarah”, yang ditulis dengan apik dan menarik oleh Katrin Bandel, pengamat sastra juga Dosen Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Pada tulisan ini, saya akan lebih menitik beratkan perhatian pada makna kematian dan nilai-nilai kemanusiaan, yang diwakilkan pada tokoh-tokoh dalam karangan Martin. Walau, tentu sulit untuk memungkiri, bahwa tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen Martin, tidak berkaitan atau dilatar belakangi Peristiwa 65.

Seperti pada cerpen “Mangku Mencari Doa Di Daratan Jauh”, di mana frasa yang menjadi judul antologi ini pun diambil dari bagian akhir cerpen ini. Sebuah kisah tentang seorang pemuda bernama Mangku, anak Bali, yang berniat hijrah ke Lampung. Dengan harapan sederhana, ia ingin mati terhormat dan dilepas dengan doa. Sepengetahuannya, di daratan Lampung, orang Bali membangun kehidupan baru tanpa meninggalkan adat istiadatnya. Dia pun berangkat bersama dua sahabatnya, seekor anjing kintamani bernama Jonggi, dan seekor kera.

Keputusan hijrah itu pun didorong oleh bayang-bayang kematian ayahnya di tahun 60-an, seorang petani yang menerima tanah cuma-cuma dari organisasi tani yang menegakan land reform, “…ayah Mangku diseret ke tepi lubang, tengkuknya dihantam linggis, dan bersama jasad petani senasib, dia ditimbuni, tanpa doa, konon pula airmata…” (hal. 9-10).

Di tengah perjalanan melewati berbagai daerah, seperti Indramayu, Krawang, dan Cikampek Mangku menemukan berbagai hal yang menggelikan, juga kembali mengingatkan dia pada bayang-bayang kematian ayahnya. Tiba di Jakarta isu rabies tengah marak, di suatu jalan, anjingnya ditangkap secara paksa oleh petugas, sebab diduga mengidap rabies. Si jonggi tak pernah dikembalikan kepada pemiliknya. Satu-satunya sahabat yang tersisa, si kera pun mati diserang anjing rabies, saat mereka hendak menyeberang dari Merak menuju Bakauheni.

Namun, Mangku tidak membuang bangkai kera, sahabatnya itu, ke laut. Tidak seperti orang-orang yang membuang anjing rabies yang mati setelah menyerang kera sahabatnya. Dia membawa dan menguburkan kera itu di daratan Sumatera. Setelah menimbunnya dengan tanah, dia berlutut dan berdoa, lantas dia mengucapkan kata-kata terakhir untuk sahabatnya “…Persis sebagaimana kau dikuburkan kini, begitulah kematian yang kuinginkan. Mati baik-baik, kawan. Diiringi doa…” (hal. 17).

Pada cerita lain, Martin berkisah tentang seorang perempuan bernama Iramani, yang butuh puluhan tahun untuk dapat merasakan hidup dengan kebebasan. Sebab cap ET (Eks Tahanan Politik) pada KTP-nya membuat ia terasing sebagai warga negara yang seharusnya berhak memiliki kebebasan menghirup udara kehidupan.

Perjuangan mengembalikan keyakinan “…kembali sebagai warga negara biasa…” (hal. 71), pada cerpen “Ode untuk Selembar KTP” itu pun harus ditebus dengan harga yang mahal. Ia sampai perlu menjual tanah miliknya untuk ditukar dengan selembar KTP, tanpa tanda penderita lepra yang berlambang ET di pojok kartu. 

Meski perjuangan yang ia lakukan dinilai sebagai kesia-siaan oleh Tatiana, putri bungsunya. Namun bagi Iramani, hal tersebut sangat penting dilakukan, untuk mengembalikan kepercayaan dirinya, yang terpaksa menanggung stempel sebagai istri dari seorang komunis. Walau pun ia tidak pernah membantu kegiatan suaminya di Partai Komunis Indonesia (PKI), seperti yang dituduhkan militer terhadapnya.

Sebuah kisah tentang kematian Haji Johansyah Kuala “Salawat untuk Pendakwah Kami” mungkin sedikit berbeda dibanding delapan cerpen lain yang terkumpul dalam antologi ini. Seorang pemilik toko kopiah, yang juga pernah merasakan tahanan anti komunisme gara-gara hal sepele. Karena ia menyumbangkan sebuah kopiah bagi pemeran Soekarno pada sebuah pementasan teater dalam rangka memeriahkan ulang tahun PKI.

Dalam cerita ini, fragmen penangkapan Haji Johansyah Kuala, tidak lebih sebagai sebuah sekuen ingatan aku pencerita. Sebab pesan utama dari cerpen ini adalah bagaimana tingkah laku Haji Johansyah yang dituturkan aku pencerita sebagai seorang pendakwah yang unik, “…seorang haji, yang tidak hanya menentramkan sikap keagamaannya, tetapi juga membuat hidup jadi ria, menjauhkan permusuhan, berkat lelucon yang dipilihnya sebagai dakwah…” (hal. 110). Hingga kematiannya di atas sajadah pada suatu subuh tepat seusai shalat, membuat warga di sekitar tempat tinggalnya merasakan kehilangan yang luar biasa. Warga pun berbondong-bondong mengantarkan jasad pak haji ke tempat terakhir.

Sementara “Ratusan Mata di Mana-mana”, yang ditulis semacam memoar riwayat kewartawanan Martin di majalah Tempo selama 13 tahun, dapat menghanyutkan pembaca untuk menimbang-nimbang antara ruang fiksi dan realitas. Dalam kisah ini, Martin menjadi dirinya sendiri. Dia menceritakan dari mula datang ke redaksi, saat bertemu Goenawan Mohamad “…merasa tak lebih berharga dari sebutir debu yang sewaktu-waktu akan dikebutkan..” (hal. 111). Hingga akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya di majalah Tempo setelah belasan tahun ikut membangun majalah tersebut.

Kesuntukan Martin menciptakan karakter tokoh dalam cerpen-cerpen yang terkumpul dalam antologi Mati Baik-baik, Kawan ini menarik untuk diikuti. Setiap karakter selalu muncul dengan begitu emosional. Tokoh-tokoh itu secara simbolik mewakili keteguhan juga kesetiaan manusia. Seperti pada “Tanpa Pelayat dan Mawar Duka”, “Malam Kelabu”, “Leontin Dewangga”, “Bertungkus Lumus”, dan “Dendang Perempuan Pendendam”.

Bandung, Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar